Latest News

Thursday, 25 June 2020

KITA MEMERLUKAN KECERDIKAN


Gambar: https://www.washingtonpost.com

Sejak awal Juni, pemerintah telah memberlakukan sebuah kebijakan baru dalam merespon pandemi Covid-19 dengan istilah �New Normal�. Secara hurufiah, istilah �new normal� bermakna kenormalan yang baru. Namun secara semantik istilah �new normal� hendak menyampaikan sebuah konsep mengenai kehidupan keseharian khususnya keekonomian yang berjalan kembali setelah beberapa waktu lamanya terhenti dikarenakan panemi Covid-19. Kehidupan keseharian yang kembali normal ini diiringi dengan kebaruan yang berbeda dengan sebelumnya. Ada tata nilai dan tata perilaku yang berbeda yang diberlakukan. Itulah sebabnya disebut normal yang baru.

Bentuk kenormalan baru berkaitan dengan menyiasati pandemi Covid-19 adalah dengan diberlakukannya protokol kesehatan berupa, menggunakan masker kemanapun pergi, tidak bersentuhan tangan saat berjabatan tangan, membasuh tangan ketika akan memasuki rumah atau kawasan tertentu, menjaga jarak saat duduk dalam sebuah pertemuan atau berdiri mengantri di pusat perbelanjaan. Belum lagi sejumlah peraturan birokrasi yang berkaitan dengan mengadakan perjalanan jauh ke suatu kota dengan menggunakan jasa pesawat terbang atau kereta api.

Menyikapi pandemi Covid-19 yang menjadi menjadi problem global semua negara dan diberlakukannya sejumlah protokol kesehatan, bagi sebagian kalangan tertentu dianggap menyulitkan, merepotkan bahkan mencerminkan bentuk ketidakberimanan pada Tuhan yang menjadi sumber perlindungan.

Namun apakah benar bahwa cara pemerintah dan juga komunitas umat beriman yang mematuhi protokol kesehatan secara demikian mencerminkan sikap ketidakberimanan dan hanya menggantungkan diri pada kekuatan ilmu pengetahuan? Sefer Mishley 27:12 mengatakan demikian:
??????? ?????? ?????? ????????? ??????????? ???????? ???????????

(Arum raah ra'a nishtar, petayim avru neenashu)

�Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka� (Ams 27:12). Kata Ibrani ??????? (arum) diterjemahkan secara berbeda oleh Lembaga Alkitab Indonesia menjadi, �telanjang� sebagaimana dalam ungkapan, �Mereka keduanya telanjang� (wayihyu seneyhem arumim - Kej 2:25). Di bagian lain diterjemahkan �cerdik� sebagaimana dikatakan, Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh YHWH Tuhan� (wehanakhash hayah arum mikkol hayat hashadeh asyer asyah YHWH Elohim - Kej 3:1).

Akan lebih tepat jika kata ??????? (arum) dalam Amsal 27:12 diterjemahkan dengan �cedik� tinimbang �bijaksana� yang biasanya dipergunakan untuk menerjemahkan kata ??????  (khakam) sebagaimana dalam Amsal 3:7, �Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan YHWH dan jauhilah kejahatan� (al tehi khakam beeyneka yera et YHWH wesur mera�).

Lantas apa bedanya �bijaksana� dan �cerdik?� Amsal 24:3-4 membedakan antara �hikmat� (khokmah), �kepandaian� (binah), �pengertian� (da�at) sebagaimana dikatakan, �Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik�. Dengan merujuk pada pemilahan ini maka �bijak/bijaksana� (khakam) lebih menunjukkan keluasan pengetahuan dan pemahaman kerohanian yang menentukan sebuah sikap dan tindakan. Sementara �cerdik� lebih menunjukkan pada kemampuan membaca situasi sebelum mengambil sebuah keputusan.

Memiliki kecerdikan bukan sebuah kejahatan hanya dikarenakan ular dikatakan sebagai hewan paling cerdik di antara hewan yang diciptakan Tuhan. Toch Yesus Sang Mesias dan Juruslamat kita bersabda, �Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular (ginesthe oun pronimoi hos hoi opheis) dan tulus seperti merpati� (Mat 10:16).

Melalui analisis teks Amsal 27:12 di atas maka kita bisa meletakkan keputusan pemerintah atau sikap mematuhi protokol pemerintah dalam mencegah perkembangan pandemi Covid-19 merupakan sikap yang mencerminkan �kecerdikan� (arum) dalam mengatasi pandemi.

Mematuhi protokol pemerintah � sejauh tidak merampas hal prinsipil dalam berkeyakinan � adalah sikap Kristiani (Rm 3:1-7, 1 Ptr 2:13-14, Tit 3:1-2). Mematuhi sejumlah protokol kesehatan adalah salah satu bentuk �kecerdikan� dalam menghadapi pandemi Covid-19. Bukankah situasi menghadapi pandemi ini adalah situasi �pertempuran?� Dalam situasi pertempuran dibutuhkan �strategi� dan �kecerdikan� bukan?

Lantas bagaimana dengan teks-teks Kitab Suci yang menegaskan kuasa Tuhan terhadap sakit penyakit serta perlindungan yang dijanjikan-Nya (Mzm 91:1-16, Mrk 16:17-18, Yoh 14:14 dll)? Sederhana saja penjelasannya. Apakah selama ini jika kita sakit flu atau demam hanya cukup mengatasinya dengan berdoa atau meminum obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan? Apakah selama ini jika ada orang mengalami sakit stroke dan gangguan jantung dsj kita cukup mendoakan atau menyerahkan kepada rumah sakit unuk dirawat dan disembuhkan?

Tuhan YHWH, Bapa Surgawi itu berkuasa, Ya dan Amen. Yesus Sang Mesias Putra-Nya Yang Tunggal itu berkuasa mengatasi segala penyakit, Ya dan Amin. Namun bukan bermakna kita sama sekali tidak dapat disentuh oleh sakit penyakit. Ayat-ayat di atas (Mzm 91:1-16, Mrk 16:17-18, Yoh 14:14 dll ) adalah sebuah kekuatan agar kita tidak hanya menggantungkan harap pada kekuatan manusia belaka melainkan pada kuasa Tuhan. Namun demikian kita tidak boleh berlaku takabur dan ceroboh seolah-olah kita menjadi orang kebal dan sakti dari penyakit apapun.

Justru saat kita sakit, kita menggunakan obat hasil ilmu pengetahuan yang diberikan Tuhan namun serentak memohon kesembuhan oleh kuasa Tuhan. Obat dan doa adalah alat yang dipakai untuk mendapatkan kesembuhan. Jika Tuhan YHWH bisa menggunakan �garam�(2 Raj 2:21) dan �sepotong kayu� (Kel 15:25) menjadi media kesembuhan, mengapa kita harus menyebutkan tidak beriman obat-obatan modern dan protokol kesehatan yang didesain kedokteran?

Akhir kata, marilah kita menjalani aktivitas kehidupan keseharian dengan melandaskan pada iman dan pengharapan pada karya dan kuasa Tuhan serta berlaku cerdik dalam segala situasi.Karena kecerdikan menjadi salah satu kemampuan yang meluputkan kita dari malapetaka


Thursday, 4 June 2020

KEMAH, SEBAGAI SIMBOLISASI KESEMANTARAAN HIDUP


Kemah, adalah sebuah alat yang dipergunakan untuk menghindari panas dan hujan dengan didirikan di suatu tempat tertentu dengan tujuan sementara. Para pendaki gunung, tentara, tim SAR sangat familiar dengan penggunaan kemah. Demikian pula sejak zaman Israel kuno, kemah-kemah sudah familiar dipergunakan untuk melindungi dari panas terik dan hujan. 

Rasul Paul sangat akrab dengan kata kemah karena selain beliau pernah menjadi anggota Sanhedrin (Kis 26:10) beliau juga menekuni pekerjaan membuat kemah (skenopoio te techne, Kis 18:3). 

Karena itu sangat mungkin Rasul Paul menggunakan kemah sebagai analogi untuk membandingkan dengan tubuh dan kehidupan manusia yang fana atau sementara saat menuliskan, �Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar�, (2 Kor 5:1). 

Kata Yunani kataluthe dari kata kataluo yang artinya �dihancurkan�, �dibongkar�, mengindikasikan sifat remanen (sementara) dari kemah. Demikian pula kehidupan yang kita jalani di dunia tidak akan seterusnya berlangsung. Akan ada suatu masa dimana kehidupan kita berhenti � entah karena usia tua, sakit, bencana dll � dan kemah kehidupan kita yaitu tubuh kita akan dibongkar. 

Bagi orang Kristen, kematian bukan akhir yang menakutkan melainkan pintu masuk menuju kenyataan surgawi dimana janji Tuhan dinyatakan sebagaimana dikatakan, ��Tuhan telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia�. 

Lantas apakah yang seharusnya kita kerjakan selama berada dalam dunia yang fana ini? Rasul Paul menuliskan agar kita selayaknya hidup berkenan padanya (2 Kor 5:9). Jangan terlena dengan Anugrah dan Kasih Karunia Tuhan berupa keselamatan dan kehidupan kekal yang diberikan sehingga kita tidak menjaga kehidupan baru dalam terang anugrah Tuhan dan lupa berbuat kebajikan. 

Perbuatan baik adalah buah dan bukti kehidupan baru di dalam Yesus Sang Mesias dan pada suatu hari kelak kita semua akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita kerjakan, baik atau buruk, di hadapan tahta Mesias sebagaimana dikatakan, �Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Mesias, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat� (2 Kor 5:10). 

Ingatlah, bahwa saat kita berbaring dalam keabadian dan menantikan Hari Kebangkitan dan Hari Pengadilan, perbuatan kitalah yang menyertai kita sebagaimana dikatakan, "Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: "Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuan, sejak sekarang ini." "Sungguh," kata Roh, "supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka" (Why 14:13)

Persiapkanlah diri kita untuk mempertanggungjawabkan kehidupan yang kita jalani di masa kini. Buah apa yang telah kita hasilkan setelah menerima karya penebusan oleh kematian Yesus Sang Mesias di kayu salib? Jejak kehidupan yang baik atau jejak kehidupan yang buruk yang telah kita tinggalkan dalam lintasan kehidupan yang dipercayakan Tuhan?

TERTULIS DI BUMI ATAU TERTULIS DI SORGA?


Dalam Yeremia 17:5-6, dikatakan bahwa orang yang mengandalkan manusia adalah terkutuk dan kondisi keterkutukkan itu digambarkan bagai �semak bulus di padang belantara yang tidak pernah menghasilkan apapun� dan �tinggal di tanah hangus di padang gurun serta padang asin�. 

Sebaliknya orang yang mengandalkan YHWH dikatakan memperoleh berkat dan digambarkan bagai �pohon yang di tanam di tepi air dan merambatkan akarnya di tepian air serta daunnya tetap menghijau sehingga tidak mengalami kekeringan dan berbuah terus menerus�. 

Kata Ibrani yitbakhkata dasarnya batakh yang artinya �yakin�. Jadi kondisi keterkutukkan dan keberkatan ditentukkan pada keyakinan yang diletakkan pada siapa. Pada Tuhan atau pada diri sendiri. Di era modern dan teknologi informasi ini kita kerap menghadapi realita yang berkebalikkan. Justru ketika orang melepaskan diri dari orientasi dan kemelakatan pada Tuhannya justru mereka mengalami kemakmuran, kesuksesan, kekayaan. 

Namun apalah artinya sebuah kekayaan, keberhasilan, kesuksesan jika proses untuk memperoleh semua itu melanggar hukum Tuhan dan melanggar hukum negara sehingga berakhir di hotel prodeo alias penjara? Namun apalah artinya kemakmuran, kesuksesan, kekayaan jika kita tidak mendapatkan ketenangan dan ketentraman di hati dan pikiran kita? 

Dari sinilah kita bisa menghayati dan memaknai secara mendalam arti pernyataan orang yang diberkati dan digambarkan seperti, �pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah� (Yer 17:8). 

Yang menarik adalah ungkapan dalam Yeremia 17:13, dimana orang yang telah meninggalkan dan melupakan YHWH disebutkan, �dilenyapkan di negeri�. Kalimat ini tidak menuliskan selengkap teks aslinya dalam bahasa Ibrani. Kalimat yang hilang adalah, �baarets yikatevu ki asvi�(namanya tercatat di bumi karena telah murtad dari-Ku). 

Ya, mereka yang mengejar polularitas belaka, mereka yang mengejar kemuliaan fana yang melekat pada harta dan kedudukan dan jabatan serta menyakini kekuatan dirinya sebagai penentu nasib dan masa depannya hanya akan dikenang oleh penduduk bumi dan tertulis di nisannya belaka namun tidak tertulis di buku kehidupan. 

Marilah kita menjadi orang-orang yang meyakini Tuhan YHWH di dalam Yesus Sang Putra dan Mesias serta Juruslamat kita sebagai air hidup dan sumber berkat sejati.

GUNUNG BATU


Dalam Kitab TaNaKh (Torah-Neviim-Ketuvim) atau kita lazim menyebutnya Perjanjian Lama, Tuhan YHWH kerap diidentifikasi dengan sejumlah istilah yang berasal dari alam. Salah satunya adalah �gunung batu� (tsur), �perisai� (magen), �bukit batu� (tsela), �kubu pertahanan� (metsudat), �kota benteng� (mishgav) sebagaimana dikatakan dalam 2 Samuel 22:2-3, �Ya, YHWH bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Tuhanku, gunung batuku, tempat aku berlindung,  perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku, tempat pelarianku, juruselamatku; Engkau menyelamatkan aku dari kekerasan�. 

Dalam Kitab Mazmur pasal 18, 27, 40, 62 dll, banyak kita temui istilah �gunung batu� (tsur). Istilah �gunung batu� yang diekatkan pada diri Tuhan bukan hanya muncul dalam kitab Mazmur, melainkan kitab Yesaya 32:2. Istilah �gunung batu� (tsur) muncul lima kali dalam kidung pujian Musa (Ulangan 32:1-43) dan ditujukan kepada Tuhan YHWH (Ul 32:4,15,18,31,37). 

Apakah istilah �gunung batu� bagi Tuhan bermakna bahwa wujud Tuhan itu seperti batu yang dapat dilihat dan raba serta disembah? Tentu saja bukan. Istilah �gunung batu� bukan bermakna bahwa Tuhan YHWH berwujud batu yang disembah, melainkan bermakna alegoris (kias) yang berarti, Tuhan tempat perlindungan yang kokoh. 

Bukankah gunung selalu menyimbolisasikan kekuatan, kebesaran, ketangguhan, keperkasaan, kemuliaan? Tuhan Israel bukan patung yang terbuat dari batu atau kayu karena Dia bersabda, �Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun  yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, YHWH Tuhanmu, adalah Tuhan yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan m  yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku� (Kel 20:3-4). 

Sekalipun bangsa Israel pernah terjatuh pada penyembahan berhala yaitu �patung lembu emas� (Kel 32:4) namun itu adalah tindakan dan keputusan mereka sendiri dikarenakan kekuatiran dan ketidakpastian saat menunggu Musa turun dari Gunung Sinai saat menghadap Tuhan (Kel 30:1). 

Istilah �gunung batu� (tsur dan sela) mengajarkan kepada kita bukan hanya sifat Tuhan yang kokoh sebagai tempat perlindungan namun menyiratkan sebuah penghormatan terhadap alam dengan menjaga ekosistem tetap terjaga lestari.

TUHAN MENGUBAH RANCANGAN KEJAHATAN MENJADI KEBAIKAN


Pernyataan Yusuf yang berkata kepada saudara-saudaranya, �Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Tuhan telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga." Demikianlah ia menghiburkan mereka dan menenangkan hati mereka dengan perkataannya� (Kej 50:20-21) menceritakan tigal hal penting pada kita yaitu, Pertama, ringkasan keseluruhan hidup Yusuf yang penuh dengan air mata namun berakhir bahagia. 


Kedua, kearifan Yusuf dalam memahami seluruh jalan kehidupannya yang penuh dengan penderitaan akibat sebuah konspirasi (persekongkolan) saudara-saudaranya yang iri hati namun oleh karena tangan Tuhan Yahweh semua penderitaan itu diubah menjadi jalan untuk memperoleh kedudukkan dan kemuliaan. 

Ketiga, penderitaan Yusuf membentuk karakter mulia dan rendah hati sehingga Yusuf tidak menuntut balas pada saudara-saudaranya. Penderitaan Yusuf dimulai dari upaya untuk membunuh Yusuf dengan memasukkannya ke lubang sumur dan ditinggalkan sendirian namun kemudian dijual pada orang Midian (Kej 37:23-26). 

Saat menjadi hamba orang Mesir bernama Potifar, Yusuf mengalami fitnah dari istri Potifar sehingga harus di penjara (Kej 39:20). Saat di penjara Yusuf berhasil meloloskan seseorang dari hukuman namun orang tersebut lupa akan janjinya untuk membebaskan Yusuf sehingga Yusuf tetap terpenjara (Kej 40:23). 

Titik balik kehidupan dan masa depan Yusuf dimulai saat dirinya berhasil menafsirkan mimpi Firaun dan meluputkan Mesir dari bencana kelaparan (Kej 41:1-36) sehingga menghantarkannya menjadi pejabat istana di Mesir (Kej 41:37-57). Dengan semua yang dialami itu Yusuf justru melihat rencana Tuhan dibalik penderitaan dan menjadikan penderitaan itu sebagai tangga menuju keberhasilan. 

Oleh karenanya Yusuf tidak menaruh dendam sedikitpun pada saudaranya sehingga saat terjadi kelaparan di Yerusalem, Yusuf tetap memelihara kehidupan saudara-saudaranya di Mesir. Apapun yang kita alami saat ini berupa penderitaan dan kesulitan yang diakibatkan oleh orang lain terhadap hidup kita, percayalah bahwa Tuhan sanggup mengubah keadaan tersebut menjadi kebaikkan bagi diri kita. 

Jika Tuhan YHWH sanggup melakukannya terhadap Yusuf, Dia sanggup melakukannya bagi kita pula. Berdoalah agar Tuhan YHWH, Bapa kita surgawi di dalam Yesus Sang Mesias dan Sang Putra, mengubah rancangan untuk kejahatan (khashav lera�a) menjadi rancangan untuk kebaikan (khashav letov)