Latest News

Friday, 30 August 2019

DUA PENYAMUN DI SAMPING YESUS DAN DUA SIKAP TERHADAP PERISTIWA SALIB


Saat Yesus tergantung di kayu salib untuk menjalani eksekusi hukum Romawi atas desakan dan tuduhan para imam Yahudi, suasana pada saat itu digambarkan, �Orang banyak berdiri di situ dan melihat semuanya. Pemimpin-pemimpin mengejek Dia, katanya: "Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang dipilih Tuhan� (Luk 23:35). 


Bisa dibayangkan betapa riuhnya suasana pada saat itu dan mencekam bagi Yesus dan para murid-murid-Nya. Dibalik keriuhan tersebut ada percakapan menarik yang dilaporkan Lukas perihal dua penyamun yang berada di sisi Yesus memberikan respon yang berbeda.

Nama-nama para penyamun itu tidak tertera dalam Kitab Injil Kanonik. Namun dalam Kitab Injil Apokrifa/Non Kanonik/Ekstra Kanonik yang beredar namun tidak dibaca gereja, memberikan beberapa versi berbeda tentang nama-nama yang dimaksud. 

Perlu diketahui, kitab-kitab ekstra kanonik atau non kanonik biasanya ditulis untuk mengisi kisah-kisah yang tidak jelas dituliskan dalam kitab kanonik. Misalkan Kitab Injil tidak menceritakan saat Yesus berusia bayi hingga kanak-kanak atau kanak-kanan menuju dewasa. Maka bermunculanlah kitab-kitab non kanonik untuk mengisi kisah-kisah tersebut al., saat Yesus masih dalam kandungan bisa berbicara, saat kanak-kanan Yesus dapat menciptakan burung dll (Teguh Hindarto, Mengapa Injil Tidak Menceritakan Masa Kecil Yesus? http://artikel135.blogspot.com.blogspot.com)

Sekalipun terlarang dan berkategori bid'ah namun sebagai bacaan tambahan mengenai apa yang dilakukan orang-orang terdahulu untuk mengisi kekosongan atau ketidaklengkapan sebuah kisah dalam Kitab Injil. Demikian pula nama-nama penyamun yang berada di samping Yesus tidak disebutkan dalam Kitab Injil. Namun suatu teks apokripa yang dikenal sebagai Injil Nikodemus menyebutnya sebagai Gestas dan Dysmas. Sementara itu Injil Latin Kuno menyebutnya Zoatham dan Camma. 

Injil Masa Kecil (Gospel of Infancy) berbahasa Arab�yang juga bersifat apokripa�memberikan informasi tambahan tentang kehidupan dua perampok itu. Ketika Yusuf, Maria,dan Yesus (masih bayi) melarikan diri di padang pasir pada waktu malam, mereka bertemu dengan dua perampok. Perampok yang jahat tidak mau membiarkan rombongan itu pergi. Sementara itu, perampok yang baik memberikan uang 40 drachma dan ikat pinggangnya sendiri agar rombongan itu boleh pergi. Saat itu, Yesus meramalkan nasib serta menyebut nama mereka. �Tiga puluh tahun, Ibu, dan kaum Yahudi akan menyalibkan saya di Yerusalem, dan dua perampok itu akan digantung pada salib bersama dengan saya. Titus (perampok yang baik) di sisi kanan dan Dumachus (perampok yang jahat) di sisi kiri, dan setelah hari itu Titus akan pergi bersama saya ke surga"

Ya, itu sekedar kisah tambahan untuk diketahui saja, bukan untuk diimani. Kita kembali kepada apa yang disaksikan dalam Kitab Injil Kanonik khususnya Injil Lukas, Dengan nada menghujat salah seorang penyamun berkata, �Bukankah Engkau adalah Mesias? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!� (Luk 23:39). 


Dia mengambil sikap sebagaimana arus massa yang hampir semua menghujat dan menghina Yesus. Namun penyamun yang kedua berkata sebaliknya. Setelah menegur hujatan kawannya, dia berkata pada Yesus, �Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja� (Luk 23:42). Apa jawab Yesus? �Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus� (Luk 23:42). 

Percakapan dalam kondisi sakratul maut ini mengandung pelajaran berharga perihal kehidupan dan keselamatan sorgawi. Pertama, kedua penyamun tersebut mewakili sikap kita terhadap fakta historis salib. Menolak atau menerima. Tidak ada paksaan untuk mempercayai dan menerima jalan salib Yeshua untuk menebus manusia dari kutuk dosa yaitu maut. Setiap sikap dan respon terhadap salib membawa konsekwensinya masing-masing. Bagi mereka yang percaya dan menerima bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Tuhan serta Raja yang akan datang mengadili dunia serta mempercayai kematian dan kebangkitan-Nya, maka akan menjadi selamat. Sebagaimana sabda Yesus terhadap penyamun yang menerima-Nya sebagai Mesias dan Raja, �Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus� (Luk 23:43). 

Kedua, sebesar apapun kejahatan yang diperbuat seseorang asalkan mereka bertobat dan memohon pengampunan serta menerima Yesus sebagai Anak Tuhan, Mesias, Tuan Yang Ilahi, Juruslamat, Raja yang akan datang menghakimi dunia, maka dosa mereka akan dihapuskan saat itu juga. 

Di mana posisi kita terhadap pemberitaan salib? Menerima atau menolaknya?

Saturday, 24 August 2019

MENGAPA YESUS MENGECAM ORANG FARISI DAN AHLI TORAH?


Jika kita membaca narasi Matius 23:1-39, sebanyak delapan kali Yesus mengatakan �Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi� (Mat 23:13-16, 23,25,27,29). Mengapa Yeshua mengecam demikian? Apakah Yesus sedang memposisikan bahwa diri-Nya hendak meniadakan Torah? Apakah Yesus hendak mengatakan bahwa Torah adalah sebuah kuk perhambaan yang bertentangan dengan diri-Nya? 


Jika kita memiliki pemahaman demikian, maka kita berada dalam kekeliruan yang fatal. Yesus adalah seorang Rabi (Mat 23:7,8, Mrk 9:5, Yoh 3:2). Ketika seseorang disebut Rabi atau Rabuni, dalam kultur Yahudi dan konteks agama Yudaisme, maka dia adalah pengajar Torah bukan pengajar secara umum. Yesus adalah seorang Rabi (Yohanes 13:13) dan pengajar Torah (Matius 5:17-20) serta pelaku Torah (Matius 5:48).  

Maka tidak mungkin pernyataan Yesus terhadap orang Farisi dan Ahli Torah dimaksudkan sebagai sebuah perlawanan terhadap Torah sementara beliau sendiri mengajarkan Torah. Yang terjadi adalah Yesus mengecam kemunafikan dan pengabaian nilai yang utama dari Torah sebagaimana dikatakan, �Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan� (Mat 23:23). 

Melaksanakan syariat yang diperintahkan Tuhan dalam Torah harus berbanding lurus dengan perintah yang lain yaitu menegakkan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Itulah sebabnya dikatakan, �Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan�. Sabda ini menggemakan kembali kecaman Amos terhadap ibadah Israel yang tidak berbanding lurus dengan kehidupan keseharian. Kesalehan individual seharusnya berdampak pada kesalehan sosial yang salah satunya adalah keadilan, kesetiaan, belas kasihan (Am 5:21-24). 

Fokus kecaman Yesus adalah kemunafikkan. Kemunafikkan ada di setiap penganut agama bahkan mazhab-mazhab dalam sebuah agama sebagaimana dikatakan Brad. H. Young, �Hypocrisy is a problem for all religious faith communities� (Meet the Rabbis: Rabbinic Thought and the Teaching of Jesus, 2007:8). Beberapa orang Farisi dan Saduki memperlihatkan kemunafikan dibalik kesalehannya agar kita mewaspadai dan membuang kemunafikan.

PARADOX SALIB: KEBODOHAN SEKALIGUS KEKUATAN


Jika kita memasuki rumah seseorang, mungkin kita akan menemui sejumlah simbol-simbol keagamaan yang bersifat visible (terlihat) dan terpampang di dinding atau diletakkan di atas meja. Jika kita melihat lambang �bulan sabit dan bintang� atau kaligrafi berbahasa Arab yang berisikan �sahadat�, maka tahulah kita bahwa pemilik rumah adalah seorang Muslim. Demikian pula jika kita memasuki rumah seseorang lalu ada patung �Siwa� atau �Ganesha� atau lambang huruf  �AUM�, maka pemiliknya adalah seorang beragama Hindu. Jika ada simbol �swastika� dan patung �Sidharta Gautama�, maka pemiliknya mestilah seorang beragama Budha. Demikianlah jika kita memasuki rumah, lantas melihat lambang �salib� atau lukisan �Yeshua membopong domba� serta �Perjamuan Malam� karya Leonardo Da Vinci, maka kita dapat meyakini bahwa pemilik rumah adalah seorang Kristiani.

Demikianlah simbol-simbol keagamaan yang disematkan di dalam rumah hendak mengomunikasikan sebuah pesan perihal identitas seseorang. Bukan identitas kesukuan melainkan identitas keagamaan. Identitas keagamaan diwakili melalui sebuah simbol-simbol yang bersifat visible (terlihat). Sikap terbaik terhadap simbol-simbol keagamaan yang dihormati oleh para pemeluknya adalah menghormati dan memahami tinimbang menghakimi.

Terlepas ada beberapa orang Kristen yang menolak menggunanakan lambang salib dan menuduhnya sebagai lambang kutuk dan kehinaan bahkan pagan (sebuah tuduhan a-historis), suka atau tidak suka istilah �salib� tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru dan selalu mengandung aspek makna baik historis, teologis serta simbolis.

Secara historis, istilah salib menunjuk pada sebuah peristiwa historis dan benda yang dipakai untuk menyulakan seorang bernama Yesus dari Natzaret di bukit bernama Golgota dengan tuduhan menyamakan dirinya dengan Tuhan karena menyebut diri-Nya Anak Tuhan dan Mesias. Itulah sebabnya dikatakan, �Tuhan nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh� (Kis 5:30). Pengakuan Iman Rasuli membuat pernyataan, �...yang disalibkan di bawah pemerintahan Pontius Pilatus...�. Arti pernyataan ini bahwa penyaliban dan kematian Yeshua di kayu salib bukan terjadi pada ruang hampa melainkan ruang sejarah.

Secara teologis, istilah salib mengandung makna sebuah peristiwa kritologis dimana Yesus telah menjadikan diri-Nya sebagai korban pengganti dan penghapus dosa dan mereka yang menerima diri-Nya sebagai Mesias dan Anak Tuhan yang mengorbankan diri-Nya mengalami penebusan dari kuasa dosa yaitu maut dan turut menyalibkan kehidupan lamanya bagi Yesus. Itulah sebabnya dikatakan, �dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib� (Kol 2:14). Demikian pula dikatakan, �Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa� (Rm 6:6). 

Secara simbolis, istilah salib merupakan wujud sebuah benda baik untuk keperluan ritual keagamaan, hiasan dinding, hiasan kalung dimana semua wujud itu merefleksikan pesan historis dan teologis bahwa orang yang memakainya mengidentifikasikan dirinya dengan apa yang telah dialami dan dilakukan oleh orang yang disalibkan tersebut. Secara tidak langsung kita telah mengomunikasikan pada dunia bahwa, ��kami memberitakan Mesias yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan� (1 Kor 1:23). 

Beberapa hari ini, viral di media sosial terkait penggalan ucapan dan kotbah seorang penceramah non Kristen terkenal yang dinilai melecehkan keyakinan Kristen terkait simbol salib dalam Kristiani. Ceramahnya beredar di media sosial You Tube dan menuai kontroversi baik di kalangan Kristen maupun non Kristen. Ada banyak kecaman dan rencana membawa ke ranah hukum terhadap apa yang telah ducapkannya. Ada pula sebuah analisis yang menghubungkan viralisasi pernyataan sang penceramah dengan sebuah agenda politik besar untuk menciptakan sebuah konflik baru pasca keterpilihan presiden in cumbent untuk kedua kalinya.

Terlepas dari semua kecaman, amarah, rasa malu pihak tertentu sampai sebuah desain politik tertentu. Umat Kristiani harus memiliki sebuah kesadaran historis dan teologis bahwa apa yang menjadi keyakinannya yang berpusat pada sabda dan peristiwa yang dialami Yesus, memang telah bersifat kontroversi dan tidak dimengerti oleh dunia. Apa maksudnya? Dikatakan dalam 1 Korintus 1:18, �Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,  tetapi bagi kita yang diselamatkan  pemberitaan itu adalah kekuatan Tuhan�. Bagai mata uang, pewartaan salib (? ????? ?a? ? t?? sta???? - ho logos gar ho tou staurou) memiliki dua sisi yaitu �kebodohan� (�???a - mooria) sekaligus �kekuatan Tuhan� (d??a�?? ?e?? - dunamis Theou).

Yang dimaksudkan �kebodohan� bahwa pewartaan salib tidak masuk akal dan menentang rasionalitas umum. Bagaimana mungkin seseorang harus mati di kayu salib untuk menghapus dosa manusia? Apakah Tuhan tidak mampu menghapus dosa seseorang sehingga harus mengorbankan nyawa seseorang di kayu salib? Peristiwa salib bukan hanya dianggap �kebodohan� - karena ketidakmasukakalannya � melainkan �batu sandungan� (s?a?da??? - skandalon � 1 Kor 1:23).

Sementara sisi yang lain, pewartaan salib adalah �kekuatan Tuhan�. Karena melalui jalan salib yang dialami Yeshua, kutuk dosa yaitu maut telah dibinasakan (Kol 3:15, 1 Kor 15:55-57). Kekuatan Tuhan itu dialami bagi mereka yang percaya dan �diselamatkan� (s???�e???? - soozomenois) sementara kebodohan pemberitaan salib bagi mereka yang �mengalami kebinasaan� (ap????�e???? - apollumenois).

Dari perspektif historis dan teologis ini kita dapat memahami berbagai sikap yang berbeda terhadap pewartaan salib sekaligus memilih pada posisi mana kita berada. Pilihan ada pada kita dengan segala konsekwensinya baik konsekwensi eksistensial maupun etis. Konsekwensi eksistensial berkaitan dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang setelah kehidupan masa kini. Jika Anda memilih percaya, maka pemberitaan salib adalah kekuatan Tuhan. Kekuatan Tuhan yang menyelamatkan seseorang dari kutuk dosa yaitu maut. Kekuatan Tuhan yang melindungi seseorang dari tenung, sihir, mantra. Kekuatan Tuhan yang memampukan orang beriman menjalani kehidupan.

Sementera konsekwensi etis berkaitan dengan pengejawantahan ajaran Yesus dan keyakinan terhadap kewafatan-Nya di kayu salib serta kebangkitan-Nya dari kematian. Mereka yang mengaku seorang Kristiani namun menjalani kehidupan yang bertentangan dengan nilai-nilai kematian dan kebangkitab Yesus berarti mereka telah hidup sebagai �seteru salib Mesias� (t??? e?????? t?? sta???? t?? ???st?? � tous echthrous tou staurou tou chrstou) sebagaimana dikatakan, �Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Mesias� (Fil 3:18)